Search

Minggu, 11 Oktober 2009

Urine Sapi Bisa Jadi Pestisida Alternatif

AIR kencing (urine) sapi ternyata bisa jadi obat pembasmi hama. Kebanyakan petani, mungkin aneh mendengarnya. Apalagi, urine sapi yang bau pesing itu setahu mereka bisa membuat layu tanaman.
Namun, dalam final lomba kreasi dan inovasi 2007 di Pemkab Klaten, Kamis (16/8) lalu, wacana terlontar tentang kemungkinan memakai urine sapi sebagai pengganti pestisida.
Dilatarbelakangi maraknya penggunaan pestisida modern yang memiliki kandungan zat kimia 100 persen dan bahan nonorganik, tiga guru SMKN I Trucuk yakni Haryono, Nanik Wulandari, dan Sumadi memutar otak.
Menurut mereka, penggunaan pestisida kimia secara terus-menerus bagi tanaman bukan saja akan mengancam kesehatan manusia, tetapi juga bisa mengakibatkan pergeseran ekosistem dalam jangka panjang.
Organisme yang mestinya bisa bermanfaat bagi tanaman, terutama dalam penyerbukan, bisa ikut mati bersama hama tanaman. Sebab, pestisida kimia umumnya mengandung logam berat berkadar tinggi.
''Residu pestisida pada tataran yang tidak rasional akan menyebabkan buah dan sayuran tercemar,'' ujar Haryono, bersemangat, di hadapan tim juri yang diketuai Dr Esti Ismawati dari Universitas Widya Dharma.
Dia memaparkan keunggulan pestisida organik urine sapi. Sejak ditemukan dua bulan lalu, dia sudah menguji coba temuan itu di Kecamatan Wedi, Cawas, dan Trucuk.
Hasilnya, hama jenis wereng pada padi, trap pada kacang panjang, dan belalang, menyingkir atau mati. Selain itu, kandungan nitrogen urine sapi mencapai 2,7 persen. Artinya, ia bisa dijadikan pupuk.
Bau Cepat Hilang
Murahkah biaya pembuatannya? Haryono mengatakan hanya diperlukan drum plastik, kayu pengaduk, tabung, dan alat penumbuk bahan yang semuanya ada di sekitar kita.
Untuk mendapatkan pestisida bagi 500 meter persegi lahan, hanya diperlukan 60 liter urine sapi, 100 liter air, satu kilogram temulawak, daun lamtoro, kencur, tetes tebu, dan jahe.
Semua bahan itu ditumbuk halus dan dicampukan dalam air dan urine sapi. Setelah itu ditutup dalam drum selama 21 hari, agar terjadi fragmentasi. Setelah 21 hari. pestisida siap digunakan.
''Apa tidak malah membuat konsumen lari karena tak tahan baunya?,'' tanya Prof Sumitro Padmowiyono dari UGM. Ditanya begitu, Haryono meyakinkan tidak ada efek bau, sebab bau akan hilang beberapa hari setelah hama mati.
Lomba itu juga diikuti sembilan inovasi lain, seperti briket dari serbuk kayu karya Sutaryono, serbuk kayu untuk kerajinan karya Arif Isnan, modifikasi kompor minyak karya Jamaludin, mesin efisien BBM karya Joko Istiyanto.
Juga kerajinan dari limbah telur puyuh dan kayu hasil karya Tri Raharjo serta alat permainan dari limbah kayu karya Drs Suyudi. (Achmad Hussain-58)

Ultisol

Ultisol merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran luas, mencapai 45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total luas daratan Indonesia (Subagyo et al. 2004). Sebaran terluas terdapat di Kalimantan (21.938.000 ha), diikuti di Sumatera (9.469.000 ha),Maluku dan Papua (8.859.000 ha), Sulawesi (4.303.000 ha), Jawa (1.172.000 ha),dan Nusa Tenggara (53.000 ha). Tanah ini dapat dijumpai pada berbagai relief, mulai dari datar hingga bergunung.
Ultisol dapat berkembang dari berbagai bahan induk, dari yang bersifat masam hingga basa. Namun sebagian besar bahan induk tanah ini adalah batuan sedimen masam. Luas tanah Ultisol berdasarkan bahan induknya. Di antara grup Ultisol, Hapludults mempunyai sebaran terluas. Hal ini karena persyaratan klasifikasinya hanya didasarkan pada nilai kejenuhan basa yaitu < 35% dan adanya horizon argilik,tanpa ada syarat tambahan lainnya. Ultisols (ultimus-selesai) adalah tanah-tanah yang berwarna kuning merah dan telah mengalami pencucian yang sudah lanjut. Dikenal luas sebagai podsolik merah kuning. Tanah-tanah ini mendominasi lahan kering yang ada di Sumatera, Kalimantan dan Jawa. Total luas adalah sekitar 45.79 juta ha atau 24.3 % dari lahan Indonesia dan menyebar di Kalimantan Timur (10.04 juta ha), Irian Jaya (7.62 juta), Kalimantan Barat (5.71 juta), Kalimantan Tengah (4.81 juta), dan Riau (2.27 juta ha). Ultisol dicirikan oleh adanya akumulasi liat pada horizon bawah permukaan sehingga mengurangi daya resap air dan meningkatkan aliran permukaan dan erosi tanah. Erosi merupakan salah satu kendala fisik pada tanah Ultisol dan sangat merugikan karena dapat mengurangi kesuburan tanah. Hal ini karena kesuburan tanah Ultisol sering kali hanya ditentukan oleh kandungan bahan organik pada lapisan atas. Bila lapisan ini tererosi maka tanah menjadi miskin bahan organik dan hara. Tanah Ultisol mempunyai tingkat perkembangan yang cukup lanjut, dicirikan oleh penampang tanah yang dalam,kenaikan fraksi liat seiring dengan kedalaman tanah, reaksi tanah masam, dan kejenuhan basa rendah. Pada umumnya tanah ini mempunyai potensi keracunan Al dan miskin kandungan bahan organik. Tanah ini juga miskin kandungan hara terutama P dan kation-kation dapat ditukar seperti Ca, Mg, Na, dan K, kadar Al tinggi, kapasitas tukar kation rendah, dan peka terhadap erosi (Sri Adiningsih dan Mulyadi 1993). Di Indonesia, Ultisol umumnya belum tertangani dengan baik. Dalam skala besar, tanah ini telah dimanfaatkan untuk perkebunan kelapa sawit, karet dan hutan tanaman industri, tetapi pada skala petani kendala ekonomi merupakan salah satu penyebab tidak terkelolanya tanah ini dengan baik.

CIRI MORFOLOGI

Pada umumnya Ultisol berwarna kuning kecoklatan hingga merah. Pada klasifikasi lama menurut Soepraptohardjo (1961), Ultisol diklasifikasikan sebagai PodsolikMerah Kuning (PMK). Warna tanah pada horizon argilik sangat bervariasi dengan hue dari 10YR hingga 10R, nilai 3−6 dan kroma 4−8 (Subagyo et al. 1986; Suharta dan Prasetyo 1986; Rachim et al. 1997;
Suhardjo dan Prasetyo 1998; Alkusuma 2000; Isa et al. 2004; Prasetyo et al. 2005). Warna tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain bahan organik yang menyebabkan warna gelap atau hitam, kandungan mineral primer fraksi ringan seperti kuarsa dan plagioklas yang memberikan warna putih keabuan, serta oksida besi seperti goethit dan hematit yang memberikan warna kecoklatan hingga merah.
Makin coklat warna tanah umumnya makin tinggi kandungan goethit, dan makin merah warna tanah makin tinggi kandungan hematit (Eswaran dan Sys 1970; Allen dan Hajek 1989; Schwertmann dan Taylor 1989).Tekstur tanah Ultisol bervariasi dan dipengaruhi oleh bahan induk tanahnya.
Tanah Ultisol dari granit yang kaya akan mineral kuarsa umumnya mempunyai tekstur yang kasar seperti liat berpasir (Suharta dan Prasetyo 1986), sedangkan tanah Ultisol dari batu kapur, batuan andesit, dan tufa cenderung mempunyai tekstur yang halus seperti liat dan liat halus (Subardja 1986; Subagyo et al. 1987; Isa et al. 2004; Prasetyo et al. 2005).
Ultisol umumnya mempunyai struktur sedang hingga kuat, dengan bentuk gumpal bersudut (Rachim et al. 1997; Isa et al. 2004; Prasetyo et al. 2005). Komposisi mineral pada bahan induk tanah mempengaruhi tekstur Ultisol. Bahan induk yang didominasi mineral tahan lapuk kuarsa, seperti pada batuan granit dan batu pasir, cenderung mempunyai tekstur yang kasar. Bahan induk yangkaya akan mineral mudah lapuk seperti batuan andesit, napal, dan batu kapur cenderung menghasilkan tanah dengan tekstur yang halus. Ciri morfologi yang penting pada Ultisol adalah adanya peningkatan fraksi liat dalam jumlah tertentu pada horizon seperti yang disyaratkan dalam Soil Taxonomy (Soil Survey Staff 2003).
Horizon tanah dengan peningkatan liat tersebut dikenal sebagai horizon argilik. Horizon tersebut dapat dikenali dari fraksi liat hasil analisis di laboratorium maupun dari penampang profil tanah. Horizon argilik umumnya kaya akan Al sehingga peka terhadap perkembangan akar tanaman, yang menyebabkan akar tanaman tidak dapat menembus horizon ini dan hanya berkembang di atas horizon argilik (Soekardi et al. 1993).

Sabtu, 10 Oktober 2009

Andisols

Andisols (ando, tanah hitam) adalah tanah yang berwarna gelap khususnya pada lapisan atas. Mereka umumnya dibentuk dari endapan vulkanik dan oleh karena itu mereka pada umumnya ditemukan di dataran tinggi di sekitar gunung api. Total luas sekitar 5.39 juta ha atau 2.9% dari lahan yang ada di Indonesia dengan penyebaran Sumatera Utara (1.06 juta ha), Jawa Timur (0.73 juta), Jawa Barat (0.50 juta), Jawa Tengah (0.45 juta), dan di Maluku (0.32 juta ha).

Menurut Darmawijaya (1997) Andosols adalah tanah yang berwarna hitam kelam, sangat porus, mengandung bahan organik dan liat tipe amorf, terutama Alofan (Alofan adalah bahan mineral yang amorf yang terbentuk dari silikat dan aluminium seskuioksida). Andosols mempunyai sifat fisik yang baik, antara lain berupa: daya serap air yang tinggi; gembur, tetapi memiliki daya tahan struktur yang tinggi, sehingga mudah diolah; permeabilitas tinggi, karena mengandung banyak makropori. Kelemahan Andosols adalah mudah tererosi.

HORISON-HORISON DIAGNOSTIK

HORISON-HORISON DIAGNOSTIK

I. Epipedon

1. Molik :
a. ketebalan :
  • > 10 cm jika menumpang pada batuan keras
  • 1/3 tebal belum jika solum tidak tebal
  • 25 cm jika solum tebal
b. tidak keras sekalipun kering (gambar – agak teguh)
c. Kroma warna <> 3,5
d. V > 50%
e. B.O. > 1%, tapi <>
f. P2O5 larut asam sitrat <>
g. Struktur berkembang nyata

2. Anthopik :
a. seperti mollik, tetapi

b. kadar fosfat tinggi karena pengolahan dan pemupukan (anthropos = manusia)
3. Histik :
a. horizon organik (histos = jaringan)

b. tebal > 1 kaki (30 cm)
c. sering jenuh air
4. Ochric :
a. warna lebih muda (ochros = pucat, warna muda)

b. kadar, b.o. lebih rendah
c. lebih tipis dari mollic, umbric, anthropic atau histic
d. keras dan pejal waktu kering
5. Plaggen :
a. Mengandung seresah, pupuk kandang dan sampah usaha tani

b. tebal > 50 cm
c. pengaruh pengolahan tanah yang lama
(plaggen = sod = tanaman sisa-sisa rumput)
6. Umbrik :
a. warna tua (umbra = peneduh warna tua)

b. sepeti mollik, tetapi jenuh hidrogen (H+)

II. Endopedon :
1. Kambik :
a. Struktur granuler gumpal atau tiang, bercampur dengan yang masih memperlihatkan
struktur batuan induk.

b. Mengandung mineral terlapukkan, termasuk alofan atau kaca volkan (vitrik)
(cambiare = menukar)

c. KPK di atas 16 me%
d. Belum ada iluviasi lempung, seskuioksida & B.O
e. Tidak tampak selaput lempung pada gumpalan/butir tanah
f. Tidak dapat berkembang dalam bahan pasir ( terbentuk oleh reaksi fisika atau
kimia)

2. Agric :
a. Pengumpulan G.O & lempung langsung di bawah lapangan olah 15% vol tanah (agr =
lapangan)

3. Albic :
a. Lempung & oksida besi telah terlundi sehingga meninggalkan pasir dan debu warna
muda. (albus = putih)

b. Biasanya dialasi oleh spodik atau orgilic
4. Argilik :
a. Berhorizon B lempung illuvial

(orgilla = lempung putih)
b. Berselaput lempung pada permukaan gumpal tanah
5. Galcic :
a. Perkayaan CaCO3 sekunder atau CaCO3+ MgCO3 sekunder (calcic = kapur)

b. Kadar CaCO3 setara > 15% bila tebal > 15 cm
Kadar CaCO3 setara > 5% dari horizon C (notric = natrium)
6. Natrik : Seperti argilic, tetapi :
a. Berstruktur kolumner / prismatik
b. Ber Na tertukar 15%
c. pH > 8,5
7. Oksik :
a. Pengumpulan besi oksida dan/atau Al oksida terhidrat

b. Berlempung kaolinit (kisi 1:1) (oksik : oksida)
c. Tak berselaput lempung
d. pH (KCl) pH – H2O
8. Spodik :
a. Berhorizon B dengan pengumpulan humus/seskuioksida

b. Tak ada pengumpulan lempung & selaput lempung
c. Dapat merekat menjadi padas (orstein)
(spodos = abu kayu)
9. Duripan :
a. Terekat oleh silika berbentuk kristal mikro sehingga fragmen-fragmen kering tak mau
menjadi bubur bila direndam (durus = keras)

b. Sering mengandung semen tambahan berupa oksida besi dan CaCO3 sehingga warna
beraneka

10. Fragipan (tragilis = rapuh) :
a. BV lebih tinggi dari horizon di atasnya

b. Keras bila kering tetapi rapuh bila lembab

HORISON DAN LAPISAN UTAMA

HORISON DAN LAPISAN UTAMA

1. Horizon organik :
O : horizon organik dari tanah mineral
O1 : horizon organik yang sebagian besar bagian-bagiannya masih jelas menampakkan
bentuk asli.
O2 : horizon organik yang sudah tidak tersidik bentuk asli asalnya.
a. :terbentuk pada bagian atas tanah mineral
b. :dirajai oleh bahan-bahan organik segar/terurai sebagian
c. :berkadar BO 30% jika berfraksi lempung 50%, 20% jika berfraksi bukan lempung

2. Horizon mineral
A : horizon mineral yang terdiri atas :
a. horizon pengumpulan b.o yang terbentuk dekat permukaan
b. lap yang telah kehilangan lempung, besi atau aluminium yang mengakibatkan
pengumpulan kwarsa atau mineral
c. horizon yang dirajai (a) atau (b) tapi memperlihatkan sifat ke horison B atau C
dibawahnya.

A1 : terbentuk/sedang terbentuk pada/dekat muka tanah dengan penimbunan b.o.
terhumofikasi yang berhubungan dengan fraksi mineralnya.
A2 : berciri pokok hilangnya lempung, besi atau aluminium sehingga terjadi pemekatan
residuil kwarsa.
A3 : horizon peralihan antara A dan B dan dirajai oleh sifat-sifat khas A1 dan A2 yang
menumpanginya, tapi mempunyai beberapa sifat tambahan dari horizon B di
bawahnya.

AB : peralihan antara A dan B, yang bagian atas berciri utama sifat-sifat A, dan bagian
bawah seperti horizon B.
Keduanya tidak bisa dipisahkan menjadi A3 dan B1 biasanya karena terlalu tipis, bila
tebal harus dipisahkan.
B : Ciri-ciri utamanya
a. pemekatan illuvial lempung silikat, besi, Al/humus baik sendiri-sendiri maupun
kombinasi.
b. Pemekatan residuil seskudesido atau lempung silikat dengan pelarutan/penghilangan
karbonat-karbonat/garam-garam mudah larut.
c. Terjadi pelarutan seskuidesida sehingga berwarna lebih tua, cemerlang atau lebih
merah tapi tak ada iluviasi besi.
d. Perobahan bahan dari keadaan aslinya yang mengaburkan struktur batuan asli, yang
membentuk lempung-lempung silikat, membebaskan desida-desida atau keduanya dan
membentuk struktur granuler, gumpal atau prismatik.

B1 : peralihan antara B dan A1 atau B dan A2 yang dikuasai oleh sifat-sifat B2 di
bawahnya, tapi bersifat tambahan dari A¬¬1¬ atau A2.
B2 : bagian dari horizon B dengan sifat-sifat paling murni, tanpa menunjukkan sifat
peralihan ke A, C atau R.
B3 : peralihan antara B dan C atau R dengan sifat-sifat diagnostik B2 tapi berkaitan
dengan sifat-sifat khas C atau R.

C : mirip dengan bahan yang dianggap bahan asal solum, relatif sedikit kena proses
pendogenesa dan tak mempunyai sifat-sifat yang diagnostik A atau B, dengan sifat-sifat :
a. Pelapukan di luar daerah kegiatan biologi utama
b. Sementasi dapat balik, merapuh, BU meninggi sifat khas/fragipan.
c. Gleisasi
d. Pengumpulan Ca atau Mg karbonat/garam mudah larut
e. Sementasi oleh Ca atau Mg karbonat/garam mudah larut
f. Sementasi oleh bahan kersik larut alkali atau oleh besi dan silika
g. Mencakup semua horizon/laporan yang terbentuk tanpa faktor biologi

R : batuan dasar pada yang ditumpangi, seperti : granit, batuan pasir atau gamping.

A&B: bersyarat A2 tetapi disisipi B sebanyak 50% volume

AC : bersyarat maupun C tanpa ada yang merajai.

B&A: horizon bersyarat B pada lebih dari 50% volnya dan mencakup bagian-bagian yang bersyarat A2.
• mampunyai lidah-lidah tegak A2
• mempunyai pita-pita horizontal A2¬ diantara pita-pita B yang lebih tebal

Padanan Nama Tanah menurut Berbagai Sistem Klasifikasi Tanah (disederhanakan)

Padanan Nama Tanah menurut Berbagai Sistem Klasifikasi Tanah
(disederhanakan)



Jumat, 09 Oktober 2009

Tanah sebagai Penopang Kehidupan

Tanpa tanah, kehidupan yang kita ketahui tidak mungkin ada. Tanah merupakan sumber utama bahan makanan yang kita makan dan serat yang kita gunakan, seperti katun dan kayu. Tanah memainkan peran kritis dalam memelihara atau menjaga kualitas udara, menyimpan air dan bahan makanan bagi tumbuhan, serta menyaring bahan pencemar air permukaan.

Lapisan tipis tanah di atas permukaan kerak Bumi merupakan suatu sumberdaya yang sangat lemah. Hilang karena erosi, rusak karena praktek-praktek pertanian yang jelek seperti terlalu banyak gembala, kehilangan kesuburan tanah, terumpulnya garam-garam akibat praktek irigasi yang jelek, dan pencemaran dari bahan beracun mengancam sumberdaya tanah kita.

Seluruh sistem Bumi berinteraksi di dalam tanah, yang tersusun dari: materi organik tak terlarut yang dihasilkan oleh pelapukan dan penghancuran batuan, mineral, dan sedimen; bahan makanan digunakan oleh tumbuh-tumbuhan; bermacam-macam materi organik; organisme -- baik hidup maupun mati; udara dan gas-gas lain serta air. Ahli ilmu tanah menggunakan penampang vertikal atau profil tanah untuk mempelajarinya. Dalam penyelidikan tanah, anda akan mengumpulkan suatu inti tanah (bagian atas beberapa inci dari suatu profil ), dengan demikian, anda dapat menguji dan menganalisisnya sebagaimana yang diinginkan oleh ahli ilmu tanah.

Berdasarkan klasifikasi tanah, terdapat 12 macam tanah utama. Enam di antaranya meliputi: tanah Prairie, Forest, Tropical, Organic, Dessert, dan Tundra yang masing-masing memiliki tipe bentanglahan dan lingkungan dimana tanah tersebut terbentuk. Ahli ilmu tanah mengelompokkan tanah berdasarkan ciri-cirinya dan menamakannya sesuai dengan ciri-cirinya. Tanah Dessert misalnya, disebut sebagai Aridosols.

  • Tanah Prairie (Mollisols) adalah salah satu dari tanah pertanian yang penting dan produktif di dunia. Umumnya terbentuk di daerah berlintang menengah. Tanah ini terbentuk pada lingkungan padang rumput, memiliki lapisan (horison) permukaan gelap dan kaya akan mineral-mineral sepanjang profil tanah.
  • Tanah Forest (Spodosols), umumnya terbentuk pada daerah panas sampai sedang, daerah basah dengan penutup pohon-pohon jarum. Horison atas yang abu-abu muda tanah ini menutup horison merah yang kaya akan aluminium dan/atau besi. Akumulasi humus, aluminium dan orksida di bawah permukaan merupakan ciri-ciri dari tanah asam ini.
  • Tanah Tropical (Oxisols) merupakan tanah terlapuk kuat, merah atau kuning dari daerah basah, tropis atau subtropis. Di daerah tropis pelapukan yang sangat kuat akan melepaskan bahan makanan dari tanah dan meninggalkannya bersama oksida besi. Meskipun tanah ini sangat tidak subur, penambahan kapur dan pupuk akan menjadikan tanah ini sangat produktif.
  • Tanah Organic (Histosols) merupakan tanah lahan basah, berwarna gelap dan kaya akan dekomposisi materi organik. Tanah ini sangat memegang peranan penting di daerah lahan basah dengan menyaring bahan pencemar dari air permukaan -- khususnya selama aliran air permukaan tinggi dan banjir.
  • Tanah Dessert (Aridisols) terbentuk di daerah gersang, dimana air irigasi tidak tersedia, tanah ini digunakan untuk tempat latihan, kehidupan liar, dan rekreasi. Tanah ini umumnya kaya akan kalsium karbonat yang mungkin membentuk lapisan tidak lulus air (impermeable).
  • Tanah Tundra (Gelisols). Profil tanah ini umumnya terdiri dari lapisan gelap yang kaya akan meteri organik dan lapisan kaya mineral yang menutupi permafrost. Tanah, tanah bawah, atau endapan permukaan dimana suhu berada di bawah titik beku sepanjang waktu (dari 2-10 ribu tahun) dapat disebut sebagai permafrost.
Sumber: Geotimes, Februari 1999. Diterjemahkan oleh: I Wayan Warmada

Spodosol

Tanah yang termasuk ordo Spodosol merupakan tanah dengan horison bawah terjadi penimbunan Fe dan Al-oksida dan humus (horison spodik) sedang, dilapisan atas terdapat horison eluviasi (pencucian) yang berwarna pucat (albic). Padanan dengan sistem klasifikasi lama adalah termasuk tanah Podzol.

Dalam ilmu tanah, Podsol (juga dieja Podzol, atau dikenal sebagai Spodosol) adalah khas dari tanah yg termasuk jenis pohon jarum, atau hutan utara. Mereka juga yang khas dari tanah eucalypt hutan dan heathlands di selatan Australia. Nama ini untuk Rusia "di bawah ash" (под / pod = bawah, зола / zola = abu) dan mungkin merujuk kepada umum pengalaman Rusia petani dari pembajakan membuat terlihat di bawah lapisan-abu (leached atau E cakrawala) pada saat pertama bajakan yang perawan tanah dari jenis ini. Tanah ini terdapat di daerah-daerah yang basah dan dingin (misalnya di Northern Ontario atau Rusia) dan juga di daerah-daerah hangat seperti Florida sandy dimana tanah air yang berfluktuasi meja (humic varian dari utara podzol atau Humod). Contoh yang hangat-iklim podzol adalah Myakka pasir halus, tanah state of Florida.

Spodosols paling miskin untuk tanah pertanian. Beberapa dari mereka yang berlebihan sandy dan ditiriskan. Lain ada rooting zona dangkal dan drainase miskin karena lapisan tanah sebelah bawah penyemenan. Well-drained liat jenis dapat sangat produktif untuk tanaman jika kapur dan pupuk yang digunakan.

E cakrawala, yang biasanya 4-8 cm, rendah dalam Fe dan Al oxides dan humus. Itu dibentuk di bawah lembab, dingin dan kondisi acidic, terutama di mana orang tua materi, seperti granit atau batu pasir, kaya akan kuarsa. Hal ini ditemukan di bawah lapisan bahan organik dalam proses pembusukan, yang biasanya 5-10 cm. Di tengah, sering terdapat sebuah lapisan tipis 0,5-1 cm. Bleached yang berjalan di atas tanah menjadi merah atau disebut redbrown cakrawala rusty tanah. Warna yang kuat di bagian atas, dan mengubah pada kedalaman 50 hingga 100 cm makin ke bagian tanah yang terutama tidak terpengaruh oleh proses, yang merupakan bahan induk. Tanah profil dimaksudkan huruf A (tanah), E (eluviated tanah), B (lapisan tanah sebelah bawah) dan C (bahan induk).

Utama dalam proses pembentukan Spodosols adalah podzolisation. Podzolisation adalah proses yang rumit (atau jumlah sub-proses) di mana bahan organik dan mineral larut (umumnya besi dan aluminium) adalah dari leached E A dan B horizons ke cakrawala.

Dalam podzols, yang berarti pemindahan eluviation dari clays, humic acid, besi, dan lainnya dari konstituen larut A dan E horizons. Konstituen ini mungkin akan menumpuk membentuk spodic illuvial ufuk dan dalam beberapa kasus yang placic cakrawala atau besi band. Podzolization terjadi leaching parah ketika meninggalkan atas cakrawala hampir habis semua kecuali tanah konstituen kuarsa butir. Tanah mineral di ufuk J membusuk oleh reaksi dengan asam humic dan formulir larut garam. Dari bahan yang leached A cakrawala adalah didepositkan di ufuk B sebagai humus kaya cakrawala-band atau sebagai lapisan sesquioxides keras.

Sub-proses tersebut meliputi mobilisasi, eluviation dan illuviation. Mobilisasi dan eluviation kedua memindahkan bahan-bahan organik dan mineral melalui A ke B ufuk cakrawala. Selama ini, mereka bereaksi dengan air (illuviation) menjadi oxidised. Ini proses podzolisation hasil karakteristik tanah di profil spodosols, di mana E cakrawala yang biasanya ashen putih atau warna abu-abu tanpa struktur dan terdapat lapisan khusus hardpan oksida di ufuk B (yang selalu gelap daripada E cakrawala) . E cakrawala bisa abu-abu gelap di profil yang tinggi dalam hal organik, namun dalam kasus yang B yang sangat gelap.

Namun, seperti conifers allelopathically mengurangi kompetisi oleh produksi lebat O cakrawala dari acidic dan beracun alas daun yang membusuk lambat, utama bentuk interaksi tanah-tanaman adalah bahwa dari conifers sendiri. The acidic O cakrawala, seiring dengan pola curah hujan yang mirip dengan yang moister grasslands, juga mendorong illuviation dari oxides dari aluminium dan besi.

Dalam beberapa podzols, E cakrawala tidak hadir - baik oleh masked biologi atau kegiatan obliterated oleh gangguan. Podzols dengan sedikit atau tanpa E cakrawala pembangunan yang sering diklasifikasikan sebagai Brown podzolic tanah.

Podsols di Eropa Barat yang dikembangkan di heathland, yang merupakan gangguan membangun manusia, di mana vegetasi dikelola melalui grazing dan pembakaran. Mei tanah yang telah dikembangkan dengan baik selama tahun 3000 dalam respon terhadap vegetasi dan perubahan iklim. Dalam beberapa moorlands British dengan tanah podsolic ada coklat earths diawetkan dibawah Bronze Age barrows.

Spodosols adalah sebagai paleosols langka. Walaupun mereka dari sejauh kembali sebagai Carboniferous, terdapat beberapa contoh dari hidup sebelum pertama Pleistocene glaciation, dan beberapa mungkin tidak benar Spodosols.

Pertanian konvensional dan Pertanian Lahan Kering

Pertanian konvensional
Pengembangan sumber daya lahan merupakan konsekuensi dari usaha untuk mempertahankan kemampuan lahan dalam mendukung produktifitas tanaman. Kondisi tersebut erat kaitannya dengan dua hal penting, yaitu; produktifitas lahan dan produktifitas petani. Potensi produktivitas apabila dikelola dengan pola yang tepat, dan sebaliknya usaha kelola pertanian/usahatani akan memperoleh optimalisasi hasil, apabila didukung oleh kondisi lahan yang potensial.
Faktor eksternal lingkungan yang merupakan gejala alam yang sulit diatasi, sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan proses produksi pertanian. Gejala umum yang sering terjadi dan menjadi kendala dalam produksi pertanian adalah terjadinya kemarau panjang atau kekeringan. Daerah yang relatif sering mengalami kekeringan adalah wilayah timur Indonesia (terutama NTT dan NTB). Selain itu, penggunaan lahan secara terus menerus, tanpa memperhatikan kebutuhan dan kemampuan lahan tersebut akan mengakibatkan semakin kurusnya/marjinalnya tanah tersebut.
Kemampuan petani dalam mengelola usahataninya, pada saat ini cenderung semakin menurun, akibat dari dampak krisis ekonomi yang hingga kini masih dirasakan, sehingga pembiayaan bagi penyediaan sarana produksi dan proses produksi semakin menurun, dan selanjutnya menjadikan produktifitas padi semakin menurun dan akan mempengaruhi pendapatan dan kesejahteraan petani. Petani dan Masyarakat pedesaan yang merupakan bagian terbesar dari penduduk Indonesia adalah golongan yang paling berkompeten untuk segera mendapatkan perhatian dan dukungan dari seluruh pihak, terutama melalui peningkatan efektifitas dan efisiensi produktifitas pertanian, agar memperoleh peningkatan pendapatan dan kesejahteraannya.

Pertanian Lahan Kering
Lahan kering sebagai salahsatu tipologi lahan usahatani yang diusahakan oleh petani, secara umum memiliki beberapa tipikal yang berubungan dengan ketersediaan air bagi tanaman, antara lain;
1) memiliki sumber daya air yang terbatas,
2) mengandalkan pada air hujan dan
3) memiliki air tanah yang relatif dalam
4) hilangnya air yang relatif cepat (fast-drain). Keterbatasan sumber air tersebut menjadikan daerah pertanian lahan kering sangat rawan terhadap kekeringan.

Keberadaan lahan kering menjadi areal sumber produksi pertanian secara umum, di dalam peruntukkannya telah dilindungi dalam Peraturan Pemerintah No. 46 tahun 1997 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Peraturan Pemerintah tersebut, pada dasarnya mendukung pembudidayaan tanaman di daerah lahan kering, dengan memperhatikan kepada;

1) meningkatkan produktifitas tanaman,
2) meningkatkan fungsi perlindung-an/pelestarian lahan,
3) meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani dan
4) memperluas/menciptakan kesempatan kerja.
Pada pertanian lahan kering, kondisi yang merugikan tersebut, akan semakin menjadikan marjinalnya lahan tersebut, dan mengakibatkan lahan menjadi kritis.

Pertanian Terpadu

Pertanian Terpadu

Pertanian konvensional dengan sistem monokultur dianggap dapat memberikan hasil produksi yang maksimal. Nyatanya, sistem monokultur dalam jangka panjang justru boros energi. Mungkinkah pertanian terpadu menjadi solusinya?
Dikutip dari artikel dalam jurnal Agronomi yang terbit Maret-April 2007, ketersediaan energi dan perubahan iklim menjadi tantangan baru dalam dunia pertanian. Sistem pertanian industri yang selama ini menerapkan metode monokultur dan penggunaan input dari luar seperti pupuk kimiawi dan pestisida kimia dalam jangka panjang justru menurunkan hasil produksi dan daya dukung lingkungan.
Dalam laporan Persatuan Bangsa-Bangsa yang berjudul “Millenium Ecosystem Assessment Synthesis Report” 2005 lalu, diperkirakan permintaan akan pangan meningkat 70-85 persen dalam 50 tahun ke depan. Sedangkan permintaan akan air bersih meningkat antara 30-85 persen.
“Jika kita dapat menjalankan sistem pertanian yang lebih hemat energi, lebih adaptif terhadap perubahan iklim, dan mulai mengganti sistem monokultur dengan pertanian diversifikasi, segala keuntungan ekonomi yang nanti didapat ini bisa menjadi dorongan bagi petani untuk beralih ke pertanian yang lebih kompleks,” ujar Kirschenmann, peneliti yang menulis paper mengenai pertanian dan perubahan iklim.
Ia menambahkan, untuk mengatasi ini dibutuhkan pertanian yang lebih hemat energi, mempertahankan keanekaragaman hayati pertanian serta mampu mencapai produksi optimum melalui diversifikasi produk meski dalam lahan yang terbatas. Ciri ini dimiliki oleh pertanian terpadu dan organik.
Hal senada diungkapkan Indro Surono, pegiat dan Inspektor Pertanian Organik yang telah aktif berkegiatan di bidang pertanian organik selama lebih dari 10 tahun. Indro menjelaskan, menurut sebuah riset yang dilakukan di Swiss selama 20 tahun, penerapan pertanian organik dan pertanian terpadu lebih hemat energi.
“Dengan pertanian terpadu dan pertanian organik ada pengikatan bahan organik di dalam tanah dan penyerapan karbon lebih rendah dibanding pertanian konvensional yang pakai pupuk nitrogen dan sebagainya,” kata Indro.
Penggunaan pupuk kimiawi tersebut terlalu mengikat karbon sehingga lebih menguras energi. Maka menurut hasil penelitian tersebut, Pertanian Organik dan Terpadu berkontribusi pada pengurangan pemakaian karbon.
Dihubungi terpisah, Noviansyah, Deputi Direktur PT Masasi Indonesia yang bergerak di bidang akses pasar dan pelatihan agribisnis mengatakan bahwa pertanian terpadu dan organik lebih baik karena lebih hemat energi dan menjaga rantai energi agar tidak terputus mulai dari budidaya, panen dan pasca panen.

Sumber Penghasilan Beragam
Selain hemat energi, keunggulan lain dari pertanian terpadu dan organik adalah petani akan memiiki beragam sumber penghasilan. Sistem Pertanian terpadu memperhatikan diversifikasi tanaman dan polikultur. Seorang petani bisa menanam padi dan bisa juga beternak kambing atau ayam dan menanam sayuran.
Kotoran yang dihasilkan oleh ternak dapat digunakan sebagai pupuk sehingga petani tidak perlu membeli pupuk lagi. Jika panen gagal, petani masih bisa mengandalkan daging atau telur ayam, atau bahkan menjual kambing untuk mendapatkan penghasilan.
“Dengan demikian tidak hanya andalkan satu sumber penghasilan. Monokultur riskan terhadap hama karena sebabkan hama senang. Dengan polikultur ada keseimbangan biologis, musuh ada kawan sehingga serangan hama tidak begitu banyak,” ujar Novi yang pernah aktif sebagai aktivis pertanian berkelanjutan.
Selain itu limbah pertanian juga dapat dimanfaatkan dengan mengolahnya menjadi biomassa. Bekas jerami, batang jagung dan tebu memiliki potensi biomas yang besar.
Dalam konteks program Bimas, kinerja subsidi pertanian terpadu direfleksikan oleh keberhasilan pelaksanaan kredit program. Kredit program pada hakekatnya merupakan instrumen strategis dalam upaya peningkatan produksi melalui program intensifikasi (Soentoro, et.al., 1992). Tingkat bunga yang rendah dan prosedur yang relatif mudah mendorong petani dalam penerapan teknologi yang dianjurkan. Kredit program berfungsi sebagai pemacu adopsi teknologi baru, dan efektif sebagai penunjang program peningkatan produksi khususnya bagi petani golongan ekonomi lemah.
Kredit program pertanian merupakan instrumen kebijakan yang strategis di dalam memacu dan memantapkan pertumbuhan sektor pertanian. Hal ini direfleksikan oleh keterkaitan penyaluran kredit program dengan perluasan areal intensifikasi dan pertumbuhan sektor pertanian (Hermanto, 1992). Analisis empiris juga menunjukkan bahwa kredit intensifikasi merupakan elemen penting dan strategis sebagai suatu perangkat kebijakan swasembada pangan. Peran ini akan semakin mantap bila dapat dilakukan koreksi terhadap struktur kredit program yang didominasi olen kredit tanaman pangan, khususnya untuk tanaman padi.
Struktur yang ada dinilai tidak kondusif dalam mendorong implementasi program diversifikasi pertanian. Untuk mendorong program diversifikasi pertanian, perlu dilakukan realokasi kredit program ke usahatani non padi. Realokasi ini perlumemperhatikan perkembangan pola permintaan petani terhadap jenis dan jumlah kredit usahatani.
Partisipasi petani dalam pemanfaatan kredit program didominasi oleh petani dengan kemampuan berswadana yang rendah. Kredit program dibutuhkan sebagai pelengkap kebutuhan modal kerja dalam penterapan teknologi anjuran (Sumaryanto, 1992).

Secara lebih spesifik, faktor-faktor utama yang berpengaruh nyata terhadap keputusan petani dalam pemanfaatan KUT adalah:
  1. Luas pemilikan sawah: semakin sempit luas sawah milik, kecenderungan untuk meminjam KUT semakin tinggi;
  2. Keikutsertaan dalam kelompok tani: semakin lama waktu keikutsertaan, semakin tinggi keinginan untuk memanfaatkan KUT;
  3. Partisipasi petani dalam program intensifikasi semakin mendorong motivasi petani
  4. untuk mengajukan KUT;
  5. (d) Resiko kegagalan usahatani dan rendahnya kemampuan pemupukan modal mendorong petani memanfaatkan KUT dalam rangka menjamin perolehan sarana roduksi pertanian.

Kehadiran KUT dalam pembangunan subsektor tanaman pangan masih sangat dibutuhkan, baik sebagai bantuan permodalan petani maupun sebagai pemacu adopsi teknologi (Waluyo dan Djauhari, 1992). Di daerah dengan tingkat persepsi terhadap teknologi sudah tinggi, KUT lebih banyak berfungsi sebagai bantuan permodalan. Pada daerah seperti ini, peran petani dalam penyusunan RDKK agar lebih ditonjolkan, sehingga paket KUT yang diterima sesuai dengan
kebutuhan petani. Sedangkan pada daerah rintisan, KUT lebih berfungsi sebagai pemacu adopsi teknologi.
Dalam konteks perencanaan subsidi pertanian terpadu, perlu diketahui kendala penyaluran dan pengembalian KUT (Waluyo dan Djauhari, 1992) sebagai berikut:
  1. Kualitas KUD peserta KUT yang masih rendah;
  2. Eksistensi kelompok tani yang lemah;
  3. Pembuatan RDKK yang tidak murni dan tidak transparan;
  4. Keterlambatan pencairan KUT sehingga tidak efektif dalam pemanfaatannya.
Konsekwensinya adalah mekanisme kontrol dalam pengambilan KUT ternyata masih membutuhkan banyak penyempumaan. Kemungkinan penyaluran KUT langsung kepada kelompok tani dengan eksistensi dan kinerja yang relatif kuat, dinilai layak untuk dipertimbangkan.


Pengelolaan Lahan Kering

Lahan kering mempunyai potensi yang cukup luas untuk dikembangkan, dengan luas yang mencapai 52,5 juta ha (Haryati, 2002) untuk seluruh indonesia maka pengembangan sangat perlu dilakukan. Menurut Simposium Nasional tentang Lahan Kering di Malang (1991) penggunaan lahan untuk lahan kering berturut adalah sebagai berikut: hutan rakyat, perkebunan, tegalan, tanah yang sedang tidak diusahakan, ladang dan padang rumput.
Pemanfaatan lahan kering untuk kepentingan pembangunan daerah ternyata banyak menghadapi masalah dan kendala. Masalah yang utama adalah masalah fisik lahan kering banyak yang telah rusak atau mempunyai potensi yang cukup besar untuk menjadi rusak. Sehingga paket teknologi yang berorientasi pada perlindungan lahan kering sangat diperlukan. Kekurangan air pada saat musim kemarau, kahat unsur hara serta keadaan tanah yang peka terhadap erosi merupakan kendala lingkungan yang paling dominan di kawasan lahan kering.
Masalah utama lain yang harus dihadapi didalam pemanfaatan lahan kering ini adalah keadaan sosial ekonomi petani atau masyarakat yang menggunakan lahan kering sebagai tempat usahanya. Pendapatan keluarga yang rendah serta kemiskinan dibanyak tempat berkolerasi positif dengan uasaha tani di lahan kering.
Rendahnya produktivitas lahan kering, selain disebabkan oleh tingkat kesuburan tanah yang rendah, juga disebabkan oleh rendahnya intensitas indeks pertanaman karena kebutuhan air tidak tersedia sepanjang tahun. Untuk meningkatkan produktivitas lahan kering masam, maka selain pengapuran dan pemupukan dapat dilakukan dengan optimalisasi pola tanam, yang selain dapat meningkatkan intensitas indeks pertanaman, juga dapat mengurangi aliran permukaan/erosi, dan evaporasi tanah oleh adanya penutupan tanaman dan sisa hasil panen yang dapat berfungsi sebagai mulsa dan menambah bahan organik tanah.

Karaktaristik dan Ciri-ciri Lahan Kering

Karakteristik umum mengenai sumberdaya lahan dan iklim dari kawasan ini yang berhubungan dengan sistem usahatani setempat antara lain : jumlah curah hujan yang sangat rendah (700 – 1500 mm/tahun); jumlah bulan kering sangat panjang (8 – 9 bulan/ Maret – November); sifat curah hujan yang eratik dalam bulan basah (hujan yang tidak merata, namun pada waktu tertentu mengalami jumlah curah hujan yang sangat tinggi dan dapat menimbulkan banjir/genangan yang tidak menguntungkan bagi usahatani); suhu harian yang rata-rata antara 30 sampai 32°C; topografi yang berbukit sampai bergunung; memiliki tanah-tanah muda (ultisol dan inseptisol) yang bersolum tipis dan sering disebut tanah berpersoalan atau problem soils (Sudjadi, 1984). Meskipun potensi tanahnya rendah, akan tetapi karena potensi luasnya sangat besar di 17 desa dampingan program PIDRA bagaimanapun juga harus dipandang sebagai suatu asset daerah yang perlu diperhatikan dan dimanfaatkan.
Ciri-ciri usahatani lahan kering adalah sebagai berikut :
  1. produktifitas yang sangat rendah;
  2. tanaman yang ditanam adalah jagung, padi ladang,ubi-ubian dan kacang-kacangan (umumnya jagung merupakan tanaman utama);
  3. mixed cropping sebagai strategi antisipasi gagal panen;
  4. teknologi berasaskan low input; budidaya yang tradisional (manual);
  5. penguasaan lahan yang terbatas karena kendala tenaga kerja; serta
  6. cenderung menerapkan ladang berpindah yang berotasi sebagai upaya penyembuhan lahan secara tradisonal ( Basuki, 2005 dan Notohadiprawiro, 1989).
Komplikasi antara dari sifat alamiah kondisi biofisik wilayah serta keadaan usahatani yang telah disebutkan, maka profil usahatani lahan kering dapat ditemui sebagai berikut :
  1. menanam pada lahan-lahan miring yang rentan terhadap kualitas tanah;
  2. persiapan lahan yang didahului dengan pembakaran lahan atau istilah lokal “ Kono”;
  3. menanam tanpa olah tanah;
  4. sering mengalami gagal panen akibat kekeringan;
  5. musim tanam hanya sekali setahun (antara bulan Desembar dan Maret)
  6. serta menggunakan varietas lokal secara turun-temurun.