Search

Sabtu, 28 Februari 2009

Ekstraksi asam humat dari batubara


Batubara digiling halus dengan menggunakan lumpang porselen, kemudian diayak dengan kehalusan 63µm. Hasil ayakan diambil 2 gr untuk setiap sampel masukkan kedalam tabung sentrifuse yang telah diketahui beratnya, lalu ditambahkan 10 ml larutan 0,5 N NaOH, kocok dengan horizontal skalar selama 30 menit lalu disentrifuse selama 15-30 menit ( sampai larutan terpisah ) dengan kecepatan 4000 rpm, hasil ekstrakkan dituangkan kedalam labu ukur 100 ml melalui saringan kertas filter no 42 yang telah diketahui beratnya. Setelah disaring tambahkan lagi H2O 10 ml kedalam endapan batubara, kocok, sentifus dengan waktu yang sama, dilakukan berulang kali hingga ekstrakkan menjadi jernih atau sampai sisa batubara tercuci bersih. Setelah itu cuci kertas filter dengan H2O hingga bersih, hasil cucian dicampurkan dengan volume cairan dalam labu ukur hingga 100 ml. Untuk mengetahui berat bahan humat keringkan tabung bersama sisa batubara kedalam oven dengan suhu 40oC selama 48 jam ( berat awal – sisa batubara ).
Bahan humat yang telah terekstrak dititrasi dengan HCl 0,1 N hingga pH dibawah 5 ( hingga terlihat endapan ), lalu kocok selama 30 menit, sentrifus 30 menit dengan kecepatan 4500 rpm. Larutan ( Asam fulfat) pindahkan ke gelas piala 100 ml. Tabung dan larutan yang mengendap (Asam humat) setelah dicuci air dikeringkan 40oC selama 48 jam, lalu tetapkan berat asam humat. Asam humat beserta tabung dititrasi dengan NaOH hingga pH 7 , lalu dikocok , tuangkan kelabu ukur cuci dengan H2O hingga volume 100 ml. Hitung kebutuhan asam humat untuk penelitian pada tiap pot.

Persiapan Tanah
Sample tanah diambil pada kedalaman 0cm- 20cm di daerah Padang sianta Kabupaten 50 kota. Tanah dikering anginkan, kemudian diayak dengan ayakan 2 mm, setelah diayak sampel diaduk secara sempurna. Sampel tanah yang telah diayak ini dimasukkan kedalam pot/ember plastik masing-masingnya 4 kg/pot setelah kering mutlak, dengan jumlah pot adalah 75 pot dilakukan tiga kali ulangan.

%Kadar Air = Bobot tanah kering udara – bobot kering tetap X 100
Bobot kering tetap

KKAKA = 1 + % Kadar Air
Kebutuhan tanah/pot = Tanah kering mutlak X KKAKKA

Asam humat dan karakteristiknya

Asam humat merupakan hasil akhir proses dekomposisi bahan organik yang mempunyai berat molekul tinggi (22 000 – 230 000), berwarna hitam kecoklatan, relatif tahan terhadap degradasi serta mengandung muatan negatif yang dapat dipengaruhi pH (Herviyanti, 2007 dalam Stevenson, 1994).
Menurut Alimin, 2001 dalam Swift, 1989 bahwa asam humat merupakan bahan makromolekul polielektrolit yang memiliki gugus fungsional seperti –COOH, -OH fenolat, maupun –OH alkoholat sehingga asam humat memiliki peluang untuk membentuk kompleks dengan ion logam karena gugus ini dapat mengalami deprotonasi pada pH yang relatif tinggi. Deprotonasi gugus-gugus fungsional asam humat akan menurunkan kemampuan pembentukan ikatan hidrogen, baik antar molekul maupun sesama molekul dan meningkatkan jumlah muatan negatif gugus fungsional asam humat.
Asam humat merupakan komponen organik, yang dapat terdisosiasi menjadi ion yang aktif serta bersifat koloidal dan relatif stabil. Asam humat memiliki peranan besar dalam memperbaiki tingkat kesuburan tanah, baik secara kimia, fisika, dan biologi tanah. Asam humat dapat memperbaiki struktur tanah, meningkatkan kapasitas memegang air tanah dan meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK) tanah, serta dapat menurunkan kelarutan unsur yang dapat meracun seperti Fe, Al. Asam humat mempunyai muatan negatif dan gugus fungsionalnya (karboksil dan hidroksil) yang menyebabkan terikatnya kation-kation logam seperti Fe, membentuk senyawa khelat atau komplek organo logam, sehingga aktifitas logam didalam tanah dapat berkurang (Stevenson, 1994 dan Tan, 2003)
Menurut hasil penilitian Herviyanti (2007) peningkatan takaran asam humat dari tanah gambut dan kompos jerami padi meningkatkan KTK tanah, hal ini dikarenakan semakin besar takaran asam humat maka sumbangan gugus fungsional dari karboksil (-COOH) dan fenolat (-OH) semakin besar, yang merupakan sumber muatan negatif. Dengan meningkatnya muatan negatif maka KTK tanah menjadi meningkat. Nilai KTK tanah akibat pemberian perlakuan asam humat termasuk dalam kriteria sedang (<17 – 24 c mol kg-1) sampai tinggi (25 – 40 c mol kg-1)
Pengaruh asam humat terhadap pertumbuhan tanaman telah diketahui cukup lama, keuntungan utama dihasilkan secara tidak langsung melalui perbaikan sifat-sifat tanah seperti agregasi, aerasi, permeabilitas, dan kapasitas memegang air (Tan, 2003). Dari penelitian(Wallace dan Witenhand, 1980) bahwa senyawa asam humat dapat memperbaiki pertumbuhan tanaman secara langsung dengan mempercepat proses respirasi, dengan meningkatkan permeabilitas sel, atau melalui kegiatan hormon pertumbuhan.
Huang and Schnitzer ( 1997 ), menyatakan bahwa asam humat berbeda komposisi dan sifat kimianya dari asam fulvat, secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut : (a) asam humat dengan ciri-ciri : Kandungan unsur C 56,2 % ; Oksigen (O) 35,5 % ; N 3,2 % ; Hidrogen (H) 4,7 % ; Sulfur (S) 0,8 %. (b) asam fulvat dengan ciri-ciri : Kandungan unsur C 45,7 % ; Oksigen 44,8 % ; N 2,1 % ; Hidrogen (H) 5,4 % ; Sulfur (S) 1,9 %. Tan, (1995), menyatakan bahwa dari analisa dengan cara ESR (Elektron Spin Resonance), asam humat memiliki inti aromatik ( aromatik core) mengandung protein, polisakarida, fenol sederhana dan logam yang terikat secara fisik maupun kimia.

Pembentukan Batubara

Batubara adalah mineral organik yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba yang mengendap yang selanjutnya berubah bentuk akibat proses fisika dan kimia yang berlangsung selama jutaan tahun ( Raharjo, 2007 ). Unsur utama batubara terdiri dari karbon (C), hidrogen (H2), oksigen(O2). ( Wapedia, 2007 )
Proses pembentukan batubara terdiri dari dua tahap yaitu tahap biokimia (penggambutan) dan tahap geokimia ( pembatubaraan). Tahap penggambutan adalah tahap dimana sisa-sisa tumbuhan yang terakumulasi tersimpan dalam kondisi reduksi di daerah rawa dengan sistem pengeringan yang buruk dan selalu tergenang air pada kedalaman 0,5 – 10 m. Material tumbuhan yang membusuk ini melepaskan H, N, O, dan C dalam bentuk senyawa CO2, H2O dan NH3 untuk menjadi humus. Selanjutnya oleh bakteri anaerobic dan fungi diubah menjadi gambut (Stach, 1982, dalam Susilawati 1992).
Pembentukan batubara dimulai sejak periode pembentukan karbon dikenal sebagai zaman batubara pertama yang berlangsung antara 360 juta sampai 290 juta tahun yang lalu. Kualitas dari setiap endapan batubara ditentukan oleh suhu dan tekanan serta lama waktu pembentukan, yang disebut sebagai “maturitas organik”. Proses awalnya, endapan tumbuhan berubah menjadi gambut (peat) dan selanjutnya berubah menjadi lignite atau disebut batubara cokelat. Setelah mendapat pengaruh suhu dan tekanan yang terus menerus selama jutaan tahun, maka lignite akan mengalami perubahan secara bertahap menambah muturitas organiknya dan mengubah menjadi (sub-bituminus) . Perubahan kimiawi dan fisika terus berlangsung hingga batubara menjadi lebih keras dan warnanya lebih hitam seingga membentuk bittuminus atau antrasit ( Raharjo, 2007)
Berdasarkan tingkat proses pembentukannya yang dikontrol oleh tekanan, panas, dan waktu, batubara umumnya dibedakan dalam lima kelas,yakni,:
1. Antrasit adalah kelas batubara tertinggi, dengan warna hitam berkilauan (luster) metalik, mengandung antara 86%-98% unsur (C) dengan kadar air kurang dari 8%
2. Bituminus mengandung 68%-86% unsur (C) dan berkadar air 8% - 10% dari beratnya.
3. Subbituminus mengandung sedikit (C) dan banyak air, karena itu menjadi sumber panas yang kurang efisien dibandingkan dengan Bituminus.
4. Lignit atau batubara cokelat adalah batubara yang lunak yang mengandung air 35%-75% dari beratnya.
5. Gambut, berpori dan memiliki kadar air diatas 75% serta nilai kalori yang paling rendah (Wapedia,2007)

Pemetaan Dengan Sistem Informasi Geografis

Dalam SIG terdapat berbagai peran dari berbagai unsur, baik manusia sebagai ahli dan sekaligus operator, perangkat/alat (lunak/keras) maupun objek permasalahan. SIG adalah sebuah rangkaian sistem yang memanfaatkan teknologi digital untuk melakukan analisis spasial. Sistem ini memanfaatkan perangkat keras dan lunak komputer untuk melakukan pengolahan data seperti : 1)perolehan dan verifikasi, 2)kompilasi, 3)penyimpanan, 4)pembaruan dan perubahan, 5)manajemen dan pertukaran 6)manipulasi, 7)penyajian, 8)analisis (Tor, Bern hardsen, 1992).
Secara garis besar ada tiga macam data dalam sistem informasi geografi yaitu : (1) data grafis yang terdiri dari data raster yang merupakan semua data digital yang didapatkan dalam hasil scanning yang belum dalam format vector, selanjutnya data digital yaitu data hasil digitasi yang telah dilengkapi data teks dan atribut lainya (2) data tabular adalah data-data selain data grafis yang berupa data pendukung berupa teks, angka symbol, dan lainya (3) data vektor yang telah memiliki koordinat x dan y dan telah dilengkapi dengan data atau informasi objek (Fiantis,2003).
Konsep sistem informasi memang sudah hadir sebelum teknologi komputer berkembang pesat seperti pada saat ini. Dengan demikian, sistem informasi yang berkembang pertama kali adalah sistem informasi yang tidak berbasiskan (mendapat dukungan) komputer. Jumlah sistem informasi ini secara alamiah makin hari makin meningkat sehingga tak terkendali, sehingga pada saat teknologi komputer hadirpun, tidak semua sistem informasi ini siap untuk diadaptasikan dengan sistem komputer. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti : jumlah sistem informasi yang cukup banyak, dana yang terbatas, karakteristik sistem informasi sangat sederhana (kompleksitas relatif rendah), potensi pengguna sistem informasi relatif tidak tinggi, kebutuhan kecepatan akses data tidak terlalu dipentingkan, kompleksitas organisasi realtif rendah, sistem informasi bersifat manual hingga semi otomatis (dengan bantuan alat bantu mekanik dan elektronik selain komputer dan peripheral-nya) dan tetap mempertahankan tenaga manusia, dan sebab-sebab lainnya (Prahasta, 2002).
Pada dasarnya, istilah sistem informasi geografis merupakan gabungan dari tiga unsur pokok: sistem, informasi dan geografis. Dengan demikian, pengertian terhadap ketiga unsur-unsur pokok ini akan sangat membantu dalam memahami SIG. Dengan melihat unsur-unsur pokoknya, maka jelas SIG merupakan salah satu sistem informasi, atau SIG merupakan suatu sistem yang menekankan pada unsur “informasi geografis”.
Prahasta (2002) menjelaskan bahwa SIG dapat diuraikan menjadi beberapa subsistem berikut:
a. Data Input : Subsistem ini bertugas untuk mengumpulkan dan mempersiapkan data spasial dan atribut dari berbagai sumber. Subsistem ini pula yang bertanggung jawab dalam menkonversi atau mentransformasikan format - format data aslinya ke dalam format yang dapat digunakan oleh SIG.
b. Data Output : Subsistem ini menampilkan atau menghasilkan keluaran seluruh atau sebagian basis data baik dalam bentuk hardcopy seperti : table, grafik, peta, dan lain-lain.
c. Data Management : Subsistem ini mengorganisasikan baik data spasial maupun atribut ke dalam sebuah basisdata sedemikian rupa sehingga mudah dipanggil, di-update, dan diedit.
d. Data Manipulation : Subsistem ini menentukan informasi-informasi yang dapat dihasilkan oleh SIG.